Laman

jumlah Pengunjung

Jumat, 04 Mei 2012

Penantian Imam Sejatiku

Penantian Imam Sejatiku
Oleh : Bintang





Mentari baru saja menyinari indahnya pagi saat aku menerima pesan singkat di ponselku. Ternyata sms dari Mbak Anis, palingan juga sms mengingatkan untuk hadir liqo di tempat dan waktu yang sama. Eh, tapi ini kan hari Rabu, baru semalam aku duduk melingkar berasama Mbak Anis dan delapan teman seperjuanganku lainnya. Siang ini Mbak Anis memintaku menemuinya di rumah untuk membicarakan hal urgen terkait sesuatu yang telah lama aku nantikan. Ternyata ini ada kaitannya dengan peristiwa penting satu tahun yang lalu. Sedikit aku ceritakan bahwa hari ini tepat setahun berlalu setelah kuserahkan secarik kertas berisi biodata diri kepada Mbak Anis.

Kutelusuri jalan menuju rumah Mbak Anis yang tak jauh dari kampusku, aku masih penasaran dengan apa yang ingin disampaikannya kepadaku. Ia hanya mengatakan ini terkait proposal nikah yang telah setahun diproses untuk menemukan imam sejatiku. Mungkin sudah tidak ada harapan bagiku untuk menemukan imam di jalan ini. Ah mengapa aku seperti ini, aku tak boleh berburuk sangka atas kehendak Allah. Tenanglah wahai diri, semua akan indah pada waktunya, itu yang selalu Mbak Anis sampaikan kepadaku setiap aku berulang kali menanyakan tentang calon suamiku padanya. Apakah sudah saatnya waktu yang indah itu tiba?.
“Assalamu’alaikum, Mbak!” Sesampainya di pagar rumah Mbak Anis aku langsung mengucapkan salam.
“Mbak!” Kenapa tidak ada jawaban ya? Sepertinya tak ada tanda-tanda ada orang di dalam rumah. Tidak seperti biasa, pagar tergembok dan pintupun tertutup rapat. Agak sejurus aku menunggu Mbak Anis di bawah pohon mangga samping pagar, tiba-tiba seorang ikhwan tinggi, kurus, cungkring, berkacamata itu berhenti dengan motor birunya tepat di depan pagar rumah.
“Antum nunggu Mbak Anis kan? Mbak Anis pesan tadi sama ana suruh antum masuk aja ke rumah, sebentar lagi Mbak Anis juga pulang, ada urusan penting katanya.” Kemudian setelah meletakkan kunci di atas pagar rumah, pria berbaju koko itu langsung pergi. Ia adalah Fatih adik Mbak Anis, kakak tingkatku di Fakultas Psikologi, ia yang menemani Mbak Anis di rumah selama suaminya ke Palestina mengirimkan bantuan pangan ke negeri Islam yang mulia.
Langsung saja aku buka pagar dan aku putuskan duduk di teras saja, tak lama aku menunggu kemudian datanglah Mbak Anis.
“Assalamu’alaikum, Syifa.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Afwan jika kamu lama menunggu Mbak. Tadi Mbak buru-buru ke ATM, untuk mengirimkan uang ke rekening Mas Mizan, ada keperluan mendadak di luar perkiraan untuk saudara kita di Palestina.” Dengan panjang lebar Mbak Anis menceritakan padaku.
“Oh, iya Mbak.” Jawabku.
“Kenapa kamu ngak masuk ke dalam, apa Fatih tidak menyampaikan pesan Mbak padamu?”
“Bukan Mbak, aku yang memutuskan menunggu Mbak di sini.” Aku berdiri dan menyalami Mbak Anis yang masih ngos-ngosan karena berjalan kaki cukup jauh. Kemudian kami masuk ke dalam rumah dan Mbak Anis menyiapkan minum dan makanan yang kami santap sambil berbincang agak serius.
***

Tepat pukul 17.00 WIB, aku bergegas balik ke rumahku dengan beragam perasaan yang tercipta. Alhamdulillah ya Rabb, ada seorang ikhwan yang ingin berta’aruf denganku. Aku senang tatkala agamaku tak lagi ganjil, tak dapat aku katakana lagi betapa bahagianya aku. Pria itu tak tak lain dan tak bukan adalah binaan dari Mas Mizan, Fariz Nizal, S.EI, seorang yang aktif dalam gerakan Peduli Palestina. Fariz adalah salah satu relawan yang tengah berangkat ke Gaza bersama Mas Mizan dan rombongan untuk mengirim bantuan ke Palestina.
Setibanya di rumah aku sampaikan kabar bahagia ini pada Emak, Ayah dan Masku. Mereka terlihat sangat bahagia karena ini adalah hal yang sudah lama aku tunggu, melewati tahap-tahap syar’i menuju pelaminan cinta dan berbuah syurga-Nya. Beribu syukur membasahi lisanku setelah mendengar kabar dari Mbak Anis hari ini.
“Syifa, tadi Nurul kemari menitipkan secarik surat untukmu, katanya sich surat cinta, mungkin ada hubungannya dengan calon suamimu.” Suara Emak mengejutkanku dari lamunanku.
“Ee-emak bisa saja, tadi Nurul ke sini ya Mak? Tumben tak memberiku kabar.” Kalimat yang dilontarkan Emak membuatku tersipu malu, untung saja aku bisa menetralisirnya tak sia-sia aku kuliah 4 tahun di Psikologi. Surat itu tak seperti surat cinta, lebih mirip surat keterangan sakit dari rumah sakit. Penasaran sebenarnya dengan surat itu, tapi kumandang azan Magrib mengurungkan niatku untuk membaca surat itu. Seusai menunaikan kewajiban, seperti biasanya aku tilawah beberapa Juz menjelang azan Isya dan dilanjutkan makan malam bersama Ayah, Ibu dan Mas Habibie.
***
Hari ini jadwal bimbingan skripsiku pagi, setelah menyiapkan sarapan pagi bersama Emak, aku bergegas siap-siap berangkat kuliah. Hari ini semoga saja aku sudah dapat izin ikut ujian skripsi, karena aku sudah rampung menyelesaikan tugas akhirku ini. Aku masuk ke dalam ruangan bu Syarifah, ternyata sudah ada dua orang yang mengantri untuk bertemu beliau, salah satu di antaranya adalah Mas Fatih yang juga menunggu antrian. Setahuku Mas Fatih tinggal menunggu jadwal wisuda, karena seminggu yang lalu ia baru saja lulus ujian skripsi. Seperti biasanya, ia tak sedikitpun menoreh ke arahku karena Mas Fatih adalah ikhwan yang sangat menjaga.
“Antum buru-buru? Kalau iya antum aja yang duluan bimbingannya.” Tanpa menorah ia ternyata menyadari aku duduk mengantri di belakangnya.
“Oh, tidak Mas. Tafadhal karena antum yang lebih dulu mengantri”. Tegasku.
“Apa antum sudah ada bertemu dengan Nurul?”
“Belum ada dari kemarin ana bertemu Nurul, emangnya kenapa Mas?”
“Oh, tidak ada apa-apa.” Kemudian giliran Mas Fatih yang bimbingan. Masih menyimpan tanda tanya di benakku. Astaghfirullah, apa ada hubungan dengan surat yang dititipkan Nurul dengan Emak semalam. Karena sibuk merevisi skripsiku, aku melupakan surat itu. Seusai bimbingan, aku putuskan langsung bergegas pulang dan mencari surat itu yang sudah tertimpa oleh buku-bukuku. Aku buka amplop putih yang membungkus secarik kertas HVS itu.



















Ya Rabb, ada apa ini? Apa Engkau tengah mengujiku? Apa yang harus aku lalukan. Aku yang menjadi bingung setelah membaca surat dari Mas Fatih. Haruskah aku membalas surat dari Mas Fatih ini? Ya Allah beri aku petunjuk-Mu.
***
Sepekan berlalu setelah aku menerima surat dari Mas Fatih, berarti selama itu pulalah aku memikul kebingunganku sendiri, aku hanya punya Allah tempatku mengadu, ingin rasanya aku ceritakan hal ini pada Mbak Anis, Emak atau Nurul sahabatku, tapi aku takut ini justru membuat beban dalam pikirannya. Kembali aku menerima pesan Mbak Anis di ponselku sesaat setelah aku mendaftarkan diri untuk mengikuti wisuda bulan depan. Di kertas pendaftaran wisuda itu, aku lihat nomor urut terakhir adalah 12 tertera nama Muhammad Fatih Putra.
Pesan singkat Mbak Anis kembali menambah kegundahan di hati ini, ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan padaku terkait ikhwan bernama Fariz Nizal yang menjadi calon suamiku. Akankah benar kelak ia yang akan menjadi imam sejatiku? Yang menuntunku menuju syurga-Nya? Kembali kutelusuri jalan menuju rumah Mbak Anis yang tak jauh dari kampusku. Dari kejauhan aku melihat rumah Mbak Anis dipenuhi dengan kendaraan roda empat dan yang paling banyak kendaraan roda dua. Baru aku teringat hari ini adalah jadwal kepulangan Mas Mizan dan rombongan di tanah air.
“Assalamu’alaikum, Mbak.” Aku menyapa Mbak Anis yang tengah menangis terseduh-seduh dan banyak juga ikhwah menangis di sana. Ada apa ini? Apa yang terjadi, tangis mereka mengisyaratkan kesedihan bukan kebahagiaan menyambut kepulangan Mas Mizan dan rombongan dari Palestina.
“Wa’alaikumsalam, Syifa.” Sambil mengusap air mata, Mbak Anis langsung memelukku dengan dekapan yang kuat dan aku merasakan air mata Mbak Anis bercucuran.
“Fariz! Fariz!”
“Apa yang sebenarnya terjadi Mbak, Mbak tenang dulu, ayo sampaikan pada Syifa ada apa dengan Fariz, Mbak.” Aku mencoba menenangkan Mbak Anis walaupun sebenarnya aku sendiri tengah panik. Aku juga melihat di sudut rumah Mas Fatih tengah merunduk dan juga menangis. Ada apa sebenarnya?
“Saat rombongan Peduli Palestina yang dipimpin oleh Mas Mizan tiba di Gaza ternyata Zionis Israel menyerbu kapal rombongan. Terjadi perlawanan sengit di sana, salah seorang dari dalam helikopter berhasil memasuki kapal dan mencoba menembak Mas Mizan dengan senapan panjangnya, sementara rombongan tak memiliki senjata apapun yang bisa melawan mereka. Yahudi laknatullah itu menembakkan pelurunya ke arah Mas Mizan, dan Fariz yang berusaha melindungi Mas Mizan tertembus peluru. Fariz syahid di bumi Islam yang mulia, Syifa”
“Innalillahi wa innailaihi roji’un.” Dan tangiskupun mencuap tak tertahankan, akupun menangis sejadi-jadinya. Banyak hal yang bergentayangan dalam pikiranku saat ini, tentang nilai perjuangan Mas Fariz, tentang syahidnya di Palestina, tentang pernikahan, tentang ah terlalu banyak yang mengusik pikiranku.
“Ini salah satu dari dua surat yang ditemukan di saku celananya setelah Fariz tertembak, tertera namamu di salah satu surat ini, Mas Mizan yang menemukannnya dan menyerahkannya pada Mbak untuk disampaikan padamu Syifa.” Sambil meletakkan surat beramplop hijau itu di telapak tanganku.




















***
Sebulan setelah meninggalnya Mas Fariz tiba waktunya aku wisuda, resmi sudah aku menyandang gelar S.Psi tidak hanya aku, ada beberapa teman dan kakak senior yang juga diwisuda termasuk Mas Fatih. Ayah, Emak dan Mas Habibie hadir dalam acara wisudaku, mereka berulang kali mengatakan bangga dengan prestasiku, karena aku berhasil lulus dengan predikat Cumlaude. Tapi aku masih saja merasa hampa hari ini, aku belum bisa menyempurnakan dien-ku, aku belum mendapatkan imam sejatiku. Dari surat yang kuterima dari Almarhum Mas Fariz ia menyampaikan bahwa sudah menyuruh Mas Fatih segera melamarku. Tapi sampai detik ini tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehadirannya. Sungguh hampa.
“Assalamu’alaikum.” Sapa seorang pria yang aku tahu itu suara Mas Fatih kepada kami yang baru selesai berfoto menggunakan toga.
“Wa’alaikumsalam.” Sahut kami serentak spontan menjawab salam Mas Fatih.
“Pak, Buk, Mas, perkenalkan nama saya Fatih. Saya adalah temannya Syifa, kami satu fakultas dan juga beberapa organisasi kami bersama. Bolehkah nanti malam aku bersama Mbak dan Masku datang ke kediaman Bapak untuk melamar putri Bapak?” Tanpa ragu dia menanyakan hal tersebut, pertanyaan yang membuat keenam mata itu tertuju padaku, dan aku hanya bisa tertunduk malu.
“Bagaimana Syifa? Ayah, Emak dan Masmu hanya ingin yang terbaik untukmu saja, Nak. Bagaimana? Ayah mencoba menanyakan kesepakatanku dan menyerahkan kepadaku untuk memutuskannya. Aku mengangguk dalam kondisi masih menunduk sebagai isyarat menyetujuinya.
***
Tidak begitu panjang waktu untuk menuju akad suci, malam ini Mas Fatih datang bersama Mbak Anis dan Mas Mizan mengkhitbahku, sekaligus menentukan mahar, aku tak minta yang muluk-muluk, aku minta seperangkat alat sholat dan Al-qur’an, cincin dan hafalan surat Ar-Rahman. Selang tiga hari, undangan berwarna ungupun telah disebar, tertera di sana walimah ursy Muhammad Fatih Putra, S.Psi dan Asy-Syifa Rahmi, S.Psi.
Alhamdulillah ya Rabb, akhirnya kau kirimkan aku imam sejatiku pada waktu yang tepat. Ternyata kau telah menetapkannya pada waktu yang Kau inginkan. Aku teringat pesan Mbak Anis, wahai diri semua akan indah pada waktunya. Ampuni aku ya Allah selama penantian ini aku sering mengeluh dan tak jarang berputus asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar